Sebelum tahun 1980-an, gerakan lingkungan hidup di Indonesia diwarnai dengan gerakan cinta lingkungan. Gerakan tersebut diawali dengan berdirinya beberapa organisasi MAPALA dan organisasi pencinta alam lainnya, yang dalam kegiatan-kegiatannya sering menyuarakan keindahan alam, perlindungan alam, dan sebagainya. Hingga kemudian pada tahun 1978, untuk pertama kalinya di Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup diangkat. Hal itu merupakan hasil pertemuan Stockholm. Pertemuan Stockholm di dunia tersebut merupakan titik tolak pindahnya paradigma cinta alam ke paradigma ekologi. Paradigma bahwa dunia ini saling terkait satu sama lain. Dunia ini kecil ternyata, kalau kita habiskan dunia, ekologi bisa rusak. Pak Emil Salim sebagai Menteri Lingkungan Hidup pertama waktu itu mulai merangkul pencinta alam khususnya teman-teman mahasiswa karena beliau menilai bahwa yang paling mengetahui tentang lingkungan adalah pencinta alam.Setelah era tersebut gerakan lingkungan kemudian mulai berubah dari gerakan yang sebatas pada gerakan cinta alam dan kampanye lingkungan yang hanya berorientasi pada konservasi dan keindahan alam semata menjadi gerakan advokasi lingkungan. Dunia kepecintaalaman semakin marak dengan bermunculannya Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) yang sebagian besar merupakan hasil bentukan dari rekan-rekan pencinta alam. Dalam aksinya Lembaga Swadaya Masyarakat ini memang lebih berani dalam melakukan advokasi untuk lingkungan.
Kalau kita melihat sejarah gerakan lingkungan di Indonesia, kita akan menyadari bahwasanya pencinta alam merupakan ujung tombak dari perkembangan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Dan memang sampai sekarang suara-suara untuk melakukan pembelaan-pembelaan terhadap lingkungan hidup tidak henti-hentinya dilakukan. Meskipun di tengah-tengah krisis kepercayaan masyarakat kita yang menganggap kegiatan-kegiatan kepencintaalaman yang dilakukan oleh MAPALA hanya berorientasi pada kegiatan menikmati alam dan bukannya upaya pembelaan alam, akan lebih baik jika kita mencoba melihat apa yang masih bisa kita lakukan ke depan. Bukannya ingin mengubur pernyataan-pernyataan itu secara mentah-mentah sebagai dalih pembelaan, tapi setiap subyek mempunyai hak penilaian masing-masing dan setiap subyek juga punya hak pembelaan masing-masing lengkap dengan argumen-argumen penguatnya. Adalah permasalahan klasik dan tidak berujung jika menyangkut opini.
Pada Temu Wicara dan Kenal Medan XIV di Universitas Muslim Indonesia, Makassar, pembahasan di salah satu sidang komisi adalah mengenai mekanisme kontrol MAPALA terhadap kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang berbasis lingkungan dan ekonomi kerakyatan (pemberdayaan masyarakat) serta langkah-langkah konkrit terhadap permasalahan lingkungan di tingkat regional dan nasional yang mengacu pada aturan perundang-undangan yang berlaku. Melihat tema yang ada tersebut, maka yang dapat dicermati adalah bagaimana peran Mapala ditengah maraknya diundangkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang ini akan banyak mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara karena sejak saat itu peta politik pemerintahan bergeser dari semangat sentralistik menjadi semangat desentralistik. Menurut UU No. 22 yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kalau kita cermati, Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terkandung beberapa prinsip sebagai berikut (Sudarsono, H. :2000) :
- Kaitannya dengan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan potensi dan keanekaragaman daerah.
- Otonomi daerah-daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab.
- Otonomi luas dan utuh pada daerah kabupaten/kota, sedangkan otonomi terbatas pada daerah propinsi.
- Otonomi yang sesuai dengan konstitusi negara untuk menjamin hubungan antara pusat dan daerah.
- Otonomi yang menjamin kemandirian daerah otonom.
- Otonomi harus meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif (legislasi, pengawasan, anggaran).
- Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan baik dari pemerintah pada daerah maupun dari pemerintah dan daerah kepada desa.
Dalam otonomi daerah itupun terlihat jelas penguatan hak-hak rakyat yang diwujudkan dalam kesejajaran posisi antara rakyat dan pemerintah melalui bingkai-bingkai demokrasi, yang juga merupakan tuntutan konkrit di mana hubungan peyelenggaraan negara dengan rakyat harus berubah dari hubungan yang berdasarkan kedaulatan penguasa menjadi kedaulatan rakyat yang lebih egaliter, demokratis dan beradab.
Namun sayangnya, digulirkannya otonomi daerah oleh sebagian masyarakat kita dianggap sebagai sebagai wujud kebebasan, euphoria atas keterkungkungan akibat hegemoni orde baru. Masyarakat adat yang selama ini identik dengan lingkungan seakan terbebas dari borgol yang selama ini menghalangi mereka untuk bisa menikmati kekayaan alam yang selama berabad-abad dipertahankan, namun kemudian dirampas dengan dalih-dalih peraturan dari pemerintah orde baru.
Penerjemahan yang beragam dalam tataran masyarakat inilah yang menjadi tantangan bagi dunia kepencintaalaman. Otonomi daerah yang kemudian identik dengan eksplorasi kekayaan alam secara bebas, saat ini oleh masyarakat kita dianggap sebagai pembenaran atas apa yang telah dialami selama dalam kungkungan orde baru.
Forum tertinggi MAPALA di Indonesia dalam pembahasannya mencoba memberikan suatu frame bagi masing-masing organisasi MAPALA sesuai dengan kondisi organisasinya masing-masing untuk bisa memberikan kontribusi bagi lingkungan hidup. Pembahasan yang dihasilkan yaitu :
I. Peran dan fungsi Kontrol MAPALA terhadap pengelolaan SDA :
Sebagai garis besarnya MAPALA disini berperan sebagai mediator dan pendamping bagi masyarakat dalam hal persoalan-persoalan aktifitas pengelolaan sumber daya alam yang berdampak negatif bagi lingkungan. Fungsi yang dimaksud di sini adalah sebagai :
- Penyebar informasi mengenai lingkungan hidup.
- Sosial kontrol pengelolaan sumber daya alam.
- Meningkatkan kepekaan terhadap kondisi sumber daya alam.
- Menjalin hubungan dengan instansi terkait dalam mengambil kebijakan yang menyangkut sumber daya alam.
- Agen pendidik lingkungan.
- Melakukan investigasi dan advokasi lingkungan.
- Menerapkan pola pemanfaatan yang berdasarkan konsep konservasi.
II. Mekanisme kontrol MAPALA terhadap pengelolaan SDA
Disini pembahasan dibagi menjadi dua sudut pandang, yaitu peran MAPALA bagi masyarakat dan juga bagi pemerintah selaku pemegang kebijakan.
a. MAPALA sebagai pendamping dan pengontrol masyarakat dapat melakukan :
1. Penyebaran informasi mengenai lingkungan hidup.
2. Mensosialisasikan perauran dan undang-undang yang berhubungan dengan lingkungan hidup.
3. Memberikan penyuluhan lingkungan (agen pendidik).
4. Melakukan pola pendekatan budaya dengan masyarakat setempat.
b. MAPALA sebagai pengontrol kebijakan pemerintah :
- Berperan secara aktif dalam mengontrol kebijakan pemerintah tentang lingkungan hidup.
- Memberikan masukan kepada pemerintah berupa solusi dan bentuk sanksi dalam pengelolaan lingkungan hidup.
III. Konsep kemitraan antara MAPALA dan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam bagian pembahasan ini yang dihasilkan secara garis besar adalah bagaimana MAPALA bisa menjalin hubungan dengan masyarakat dan pemerintah dalam melakukan usaha-usaha pelestarian dalam pengelolaan sumber daya alam.
Dari pembahasan yang dihasilkan dalam komisi B tersebut kalau kita cermati lagi sebenarnya langkah-langkah tersebut yang selama ini sudah dijalankan oleh rekan-rekan MAPALA, walaupun belum semuanya bisa menjalani. Namun usaha-usaha dalam mewujudkan kelestarian lingkungan sebagian besar sudah menjadi konsep. Saat ini yang perlu ditingkatkan untuk melakukan upaya-upaya pelestarian lingkungan dengan adanya undang-undang baru yang secara garis besar mengandung maksud pemberdayaan masyarakat (empowering) dan juga memberi kesempatan bagi pemerintah daerah untuk lebih kreatif, maka kita seharusnya bisa untuk masuk dalam dua elemen tersebut. Dalam elemen pemerintahan, kita bisa memberikan kontribusi/masukan dalam tataran pembuatan perundang-undangan yang menyangkut masalah lingkungan hidup, dan di beberapa daerah hal ini sudah diterapkan. Contohnya di daerah Wonosobo, di mana pemerintah daerahnya sudah mencoba melibatkan berbagai elemen masyarakat mulai dari petani, mahasiswa, buruh, LSM, dan juga rekan-rekan pencinta alam dalam menyusun peraturan daerah yang menyangkut pengelolaan lingkungan hidup. Dengan begitu keinginan masyarakat bisa terfasilitasi dan keinginan pemerintah daerah juga bisa diterima oleh masyarakat.

Dalam tataran teknis, ketika peraturan perundang-undangan tersebut sudah diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, MAPALA bisa mengambil peran peraturan tersebut. Pembodohan yang terjadi masyarakat adat. Keroyalan dalam mensosialisasikan adalah akibat kurang pahamnya masyarakat dengan hak-hak mereka yang ternyata sudah mendapat perlindungan. Memang sulit membangun kembali kearifan lingkungan pada selama bercokolnya orde baru salah satunya mereka yang telah memberi peluang pencari keuntungan untuk turut menikmati sumber daya alam yang selama ini mereka pertahankan, justru dibayar pengkhianatan dengan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Belum cukup itu saja, keserakahan juga memunculkan keinginan untuk menguasai yang akhirnya membuat masyarakat adat semakin tersingkir dari tanahnya sendiri.

0 komentar:
Posting Komentar